Jumat, 27 Desember 2013

A Short Holiday

Jadi anak rantau yang jauh dari orang tua emang nggak mudah. Lepas dari segala kenyamanan, hidup sendiri dan harus bergelayut dengan kerinduan akan rumah. Libur 5 hari aja rasanya tanggung untuk pulang. Padahal di tempat rantau pun bayang-bayang nyamannya rumah selalu hadir. Setiap saat. Ucapan, "coba kalo di rumah kan dimasakin mamah", atau "biasanya tiap pagi mamah masak sop" atau kalimat apapun perandaian tentang rumah.

Kali ini aku mendapat liburan yang cukup panjang. Sebenarnya nggak panjang banget sih, cuma 5 hari yang resmi tapi kalo ditambah sama weekend jadi 9 hari. Lumayan lah untuk pulang. Teman-temanku yang merantau lainnya juga sebagian besar pulang.  Jadi aku berpikir untuk apa aku nggak pulang, membusuk di tempat perantauan. Akhirnya selama 4 bulan nggak pulang, untuk pertama kalinya aku pulang.

Di rumah pun nggak ada sesuatu yang spesial. Cuma mama, papa, sama adek yang difasilitasi rumah sederhana inilah yang spesial. Kita pun nggak pergi kemana-mana. Ya, cuma di rumah. Sekalinya pergi juga ke rumah saudara di Bogor dan itu juga nggak kemana-mana lagi. Berbagi cerita dan tawa. Ya, cuma itu yang kami lakukan.

Selagi aku pulang, ternyata ada beberapa teman-teman yang menetap di tempat perantauan. Penyebab mereka nggak pulang adalah emang rumah mereka di sana atau rumah mereka terlalu jauh, jadi 9 hari itu terasa tanggung. Dan pikiranku tentang nggak pulang adalah salah. Mereka bahkan bersenang-senang di sana. Mereka membagi kebahagiaan mereka melalui foto di media sosial. Iri bukan main hatiku.

Tapi pada akhirnya aku sadar aku nggak boleh iri. Harusnya aku bersyukur masih bisa dikasih kesempatan buat kumpul keluarga kayak gini.

Paling nggak aku masih bisa merasakan kehangatan keluarga yang aku nggak dapet selama 4 bulan belakangan, dan mungkin jarang untuk beberapa bulan ke depan. Walaupun emang nggak jalan ke pantai, gunung, atau tempat wisata lain, paling nggak aku masih bisa ngerasain nyamannya rumah. Tempat di mana aku berasal dan mungkin nanti akan kembali. Tempat di mana titik keamanan itu berada. Tempat aku bercurah hati saat aku nggak ada daya buat bangkit lagi.

Ibarat game, rumah itu checkpoint-nya. Introspeksi buat ke depan yang lebih baik. Check point buat langkah yang akan lebih jauh lagi.

Minggu, 15 Desember 2013

Soerabaja

Aku masih nggak ngerti kenapa dari kelas 1 SMA aku ngotot banget kuliah di ITS. Aku masih belum paham kenapa walaupun udah diterima di institusi lain pilihanku sama sekali nggak goyah. Aku masih nggak ngerti kenapa Allah mentakdirkan aku untuk berpijak di atas tanah Bung Tomo. Aku masih belum paham kenapa aku harus hidup di Kota Surabaya.

Apapun, aku tau ini adalah pilihanku. Sebuah bisikan hati yang nggak tau dari mana sumbernya Apakah kamu berpikir aku menyesal? TIDAK! Sama sekali tidak. Aku tidak pernah merasa menyesal atas takdirku yang satu ini.

Semua ketidaksesalanku disponsori oleh manusia-manusia yang hidup di sekitarku.Aku tidak berpijak sendiri di atas kota ini.Dari sebuah pinjaman sepeda di awal masa perkuliahan oleh teman kost ku, tawaran pekerjaan, dan bala bantuan lain seperti tebengan setiap hari pulang pergi sampai kalimat 'sungkan atau mati'.

Prinsip yang terakhir bersumber dari teman-teman sejurusan. Ketika ajakan makan malam dibalas dengan kalimat 'aku belum ambil duit rek' dibalas lagi dengan kalimat 'koyok gak duwe konco lho'--kayak nggak punya temen lho--atau kalimat 'ojok sungkan, sungkan gak mangan, sungkan matek kon'--jangan sungkan, sungkan gak makan, sungkan mati lu.

Keantisungkanan dan ceplas-ceplos khas Surabaya, karakter khas orang Surabaya yang apa adanya, jujur , tanpa dendam, bikin aku jatuh cinta, walaupun kadang-kadang bikin sakit hati, tapi toh cinta nggak selamanya manis kan? Bahkan kata-kata misuh bikin kita bersahabat. Oke yang ini jangan diterapkan ke orang luar Surabaya, apalagi orang tua.

Yang lebih nggak disangka lagi adalah banyak teman sekampung di sini. Jabodetabek. Kerinduan berbicara logat betawi dengan lo-gue nya yang khas terbayar sudah ketika bertemu degan mereka. Herannya, semakin banyak kenal sama  orang, semakin merasa bahwa dunia itu sesempit daun kelor :"")

Ada nih satu temenku namanya Annisa Khaira Nasution. SD SMP sama, SMA sempet misah dan nggak kepikiran buat satu institusi ITS kayak sekarang.Ada lagi, Faiz Fathur Rahman yang waktu SD pun nggak saling kenal, SMP SMA misah, dan sekarang sama-sama di ITS dan sahabatan.

Dan setelah nulis cerita yang panjang dan agak curhat ini ketidakmengertian aku kenapa aku harus hidup di Surabaya terjawab sudah. Aku harus memiliki cerita indah seperti ini sebagai bunga rampai untuk cerita-ceritaku yang akan datang.

Aku bangga menjadi bagian dari Kota Pahlawan.

Sabtu, 14 Desember 2013

Childhood

Kangen rumah banget. Nggak sabar pengen pulang. Kalo udah nyampe rumah pasti nggak ada berhentinya cerita sama mama, papa, dan dek Anne.
  

Entah, jauh sebelum aku mengenal Kota Bekasi sebagai kampung halamanku sekarang, yang aku tau cuma Semarang. Di mana saat itu aku masih menjadi anak tunggal di keluarga kecilku. Aku yang masih polos, kecil, dan nggak tau apa-apa terbayang di benakku. Aku mengempatikan diri pada perasaan mama.

Apa yang ada di benak mama ketika melahirkan dan merawat anak kayak aku? Apapun aku, yang pasti mama pasti sangat bahagia memiliki putri kecil yang (mungkin menurut mama) cantil. Aku yang nggak bisa diam waktu kecil, sukanya main sama teman-teman dan bawa tato baru pas pulang, kalo habis main maunya minum susu nggak mau air putih.

Waktu kecil bakatku udah keliatan. Muka tembok alias nggak tau malu. Jadi MC waktu umur 4 tahun, lomba dan menang nyanyi di berbagai event, menang lomba fashion show. Aku bisa berenang dan jago matematika, waktu kecil. Dari sana sebuah kebanggaan pasti muncul di benak papa dan mama. Melalui kebanggaan, harapan pun semakin besar untuk melihat anaknya sukses kelak.

20 November 2001 merupakan hari bahagia buat kami bertiga. Aurum Chandra Neswara A.K.A Anne lahir ke muka bumi. Siapa yang nggak bangga waktu itu? Tapi lambat laun karena aku yang dulu adalah anak semata wayang papa dan mama merasa memiliki saingan untuk mendapatkan perhatian mereka. But that was no longer. Semakin dewasa aku semakin mengerti kenapa aku harus memiliki saudara. Semakin dewasa adikku pun semakin mengerti apa arti seorang kakak. Hal itu membuat setiap pertemuan dan perpisahan kami selalu diiringi dengan peluk dan cium sepasang kakak-beradik.

Seakrab-akrabnya kami berdua, masing-masing di antara kami saling memiliki kecemburuan. Adikku iri dengan bakat dan prestasiku. Tapi menurutku itu semua nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan kesempurnaan karakter. Ya, aku iri dengan karakter adikku.

Dari kecil aku punya jiwa yang nggak kenal takut, bahkan bisa masuk ke level nekat. Sifat keras kepala udah aku simpan dari dulu. Aku selalu mau melakukan apa yang kumau dengan caraku sendiri. Idealisme mama bahkan nggak menjadi penghalang buatku. Aku selalu punya pilihan sendiri dalam hidupku. Yang jelas aku selalu punya pertimbangan yang matang, "yang penting pada akhirnya papa sama mama senang". Walking in my way. Bahkan pilihanku untuk memilih jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota ITS ini pun pada awalnya kurang direstui papa dan mama.