Minggu, 15 Desember 2013

Soerabaja

Aku masih nggak ngerti kenapa dari kelas 1 SMA aku ngotot banget kuliah di ITS. Aku masih belum paham kenapa walaupun udah diterima di institusi lain pilihanku sama sekali nggak goyah. Aku masih nggak ngerti kenapa Allah mentakdirkan aku untuk berpijak di atas tanah Bung Tomo. Aku masih belum paham kenapa aku harus hidup di Kota Surabaya.

Apapun, aku tau ini adalah pilihanku. Sebuah bisikan hati yang nggak tau dari mana sumbernya Apakah kamu berpikir aku menyesal? TIDAK! Sama sekali tidak. Aku tidak pernah merasa menyesal atas takdirku yang satu ini.

Semua ketidaksesalanku disponsori oleh manusia-manusia yang hidup di sekitarku.Aku tidak berpijak sendiri di atas kota ini.Dari sebuah pinjaman sepeda di awal masa perkuliahan oleh teman kost ku, tawaran pekerjaan, dan bala bantuan lain seperti tebengan setiap hari pulang pergi sampai kalimat 'sungkan atau mati'.

Prinsip yang terakhir bersumber dari teman-teman sejurusan. Ketika ajakan makan malam dibalas dengan kalimat 'aku belum ambil duit rek' dibalas lagi dengan kalimat 'koyok gak duwe konco lho'--kayak nggak punya temen lho--atau kalimat 'ojok sungkan, sungkan gak mangan, sungkan matek kon'--jangan sungkan, sungkan gak makan, sungkan mati lu.

Keantisungkanan dan ceplas-ceplos khas Surabaya, karakter khas orang Surabaya yang apa adanya, jujur , tanpa dendam, bikin aku jatuh cinta, walaupun kadang-kadang bikin sakit hati, tapi toh cinta nggak selamanya manis kan? Bahkan kata-kata misuh bikin kita bersahabat. Oke yang ini jangan diterapkan ke orang luar Surabaya, apalagi orang tua.

Yang lebih nggak disangka lagi adalah banyak teman sekampung di sini. Jabodetabek. Kerinduan berbicara logat betawi dengan lo-gue nya yang khas terbayar sudah ketika bertemu degan mereka. Herannya, semakin banyak kenal sama  orang, semakin merasa bahwa dunia itu sesempit daun kelor :"")

Ada nih satu temenku namanya Annisa Khaira Nasution. SD SMP sama, SMA sempet misah dan nggak kepikiran buat satu institusi ITS kayak sekarang.Ada lagi, Faiz Fathur Rahman yang waktu SD pun nggak saling kenal, SMP SMA misah, dan sekarang sama-sama di ITS dan sahabatan.

Dan setelah nulis cerita yang panjang dan agak curhat ini ketidakmengertian aku kenapa aku harus hidup di Surabaya terjawab sudah. Aku harus memiliki cerita indah seperti ini sebagai bunga rampai untuk cerita-ceritaku yang akan datang.

Aku bangga menjadi bagian dari Kota Pahlawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar